Pernah gak sih kamu memaksakan diri menonton film yang suaangattt nge-bosenin sampai habis?
Dalam benak mikir “Duh nanggung. Udah setengah jalan nih..” Atau bisa jadi juga karena sayang udah keluar uang untuk bayar bioskop.
Atau nihhh, ketika maksain makan sampai begah di restaurant All You Can Eat, meskipun sadar itu mungkin gak baik untuk kesehatan. Pikiran yang sering terlintas “Udah bayar ini, kudu cuan!”
Untuk wanita mungkin sesudah membeli baju, yang ternyata gak cocok cocok amat. Otak kita akan bekerja keras untuk menciptakan berbagai alasan: “Ah aku belum punya warna ini“, “cocok juga ah kalau pake bawahan ini” atau berbagai pembenaran lainnya
“Apa sih yang membedakan Manusia dengan makhluk hidup lainnya?”
Kita memiliki akal dan budi. Jawab saya di lembar ulangan PPKN, sekitar 20 tahun lalu saat masih duduk di Sekolah Dasar. Ulangan saya langsung dapat 10!
Manusia memang dibekali dengan kemampuan untuk berpikir secara logis.
Namun, sebenarnya manusia bukan makhluk yang logis dalam mengambil keputusan loh.
Kita adalah makhluk Impulsif. Kita tidak serasional yang kita bayangkan.
Daniel Kahneman, psikolog paling terkenal di era modern membuktikan hal ini di era 70-an.
Cognitive Bias adalah istilah yang digunakan Kahneman untuk mendeskripsikan fenomena pengambilan keputusan yang mengesampingkan logika.
Nah, kali ini saya akan membahas salah satu Cognitive Bias yang paling banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena yang membuat kita terus mengambil keputusan yang salah seperti contoh yang saya ceritakan di awal artikel ini.
Sunk Cost Fallacy.
Sunk Cost ini sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan baik personal maupun bisnis.
Sunk Cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan.
Resource disini bukan sekedar uang, namun mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki value.
Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya, karena resource yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga Sunk Cost Fallacy terkadang muncul tanpa kita sadari.
Hampir semua kolega saya yang bekerja di korporasi pernah mengalami kondisi di mana mereka implementasi sistem yang meskipun dari awal mereka sudah tau kurang sesuai, namun oleh si Boss tetap dipaksakan untuk digunakan (karena sudah terlanjur pakai).
Atau skenario lain, ketika design dari staff bergaji rendah dibandingkan dengan konsultan Branding berbiaya mahal.
Pengambil keputusan cenderung akan lebih memilih ide dari konsultan berbiaya mahal tersebut, meski mungkin menurut penilaian banyak orang hasil staff lebih bagus.
Untuk kamu yang pernah nyemplung ke dalam dunia investasi, Cut Loss adalah pilihan yang sangat berat. Banyak orang justru lebih memilih average down saham yang sama, meski itu dalam kondisi menangkap pisau yang jatuh. Padahal mungkin ada pilihan saham lain yang lebih baik jika melakukan Cut Loss.
Mengapa?
Karena sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain (walaupun hal itu mungkin lebih bagus).
Pada dasarnya manusia lebih takut kehilangan daripada mendapatkan sesuatu dengan value yang sama (atau istilah kerennya Loss Aversion).
Tentu dalam menjalankan bisnis atau sebelum mengambil keputusan, kamu sudah menimbang dengan baik.
Namun, ketika sudah berjalan tapi dalam hati kecil kamu mulai terbersit hal-hal sejenis ini:
“Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “
“Sudah bayar sekiann, cobain dulu deh….“
“Tanggung, buku ini sudah setengah saya baca… “
“Sudah 6 bulan kita melakukan ini, sebentar lagi pasti terlihat hasilnya….”
Mungkin ada baiknya kita mulai merefleksikan. Apakah benar kita perlu melanjutkan karena hal ini memang baik.
Atau karena kita menghindari dilema ketika kita harus membuang segala sesuatu yang telah kita korbankan sebelumnya.
Akhir kata, kalau kalian punya teman yang suka putus sambung ama pacar-nya, lalu dijawab “Aduh aku udah terlanjur sayang”
– monggo share link artikel ini, siapa tau dia tercerahkan =D
Cindy Levina has spent her career helping brands create better customer relationships through social media, content marketing, and public relations. Her passion working with influencers and creating a meaningful digital campaign has made her a force to be reckoned with. You can follow her on Instagram @cindylevina or on LinkedIn