Loss Aversion, Psikologi di Balik Untung dan Rugi

Loss Aversion

Lost Aversion, Psikologi di balik Untung dan Rugi

Ditulis oleh Cindy Levina

Coba bayangkan dulu yah skenario percakapan seorang Ibu dan Sales service mobil berikut:

“Bu, sebaiknya Sparepart ini diganti yah supaya kedepannya mobil Ibu lebih irit bensin

Ah, bisa aja nih sales, mau upselling gw. Kurang lebih itu mungkin yang terpikir oleh si Ibu.

Bayangkan kembali kalau misal kita ubah bahasa-nya menjadi:

“Bu, sebaiknya Sparepart ini diganti yah, kalau engga mobil Ibu bakal boros bensin

Kedua skenario diatas sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu menawarkan penggantian sparepart mobil. Hanya framing penawaran-nya aja yang berbeda.

Yang pertama berfokus kepada apa yang akan pelanggan dapatkan (lebih irit) sedangkan yang kedua berfokus kepada potensi kehilangan (lebih boros).

Menurut Anda mana yang lebih efektif?

Saya yakin penggunaan kalimat kedua memiliki efek yang lebih ampuh buat bikin si Ibu ngeluarin kartu kredit-nya buat belain bayar sparepart baru itu.

Kenapa yah?

Karena pada dasarnya secara naluri kita lebih takut untuk kehilangan daripada mendapatkan sesuatu walaupun dengan value yang sama.

Loss Aversion di Kehidupan Sehari-hari

Coba bayangkan Anda lagi jalan di dekat rumah dan gak sengaja nemuin uang Rp. 100.000.

Mungkin setelah 1-2 hari, Anda udah gak inget tentang kejadian ini.

Tapi coba bayangkan lagi ketika Anda kehilangan uang dengan nominal yang sama.

Mungkin sampai 1 minggu kedepan, Anda masih mencoba ingat-ingat dimana yah uang itu keselip.

Skenario lainnya nih,

Sadar gak, ketika Anda jalan kaki malam hari di trotoar kota.

Biasanya Anda lebih waspada dengan wajah orang yang terlihat seram atau gerak gerik mencurigakan daripada ketika ada wajah ramah yang tersenyum pada Anda.

‘Fenomena’ ini disebabkan karena manusia lebih sensitif terhadap hal buruk daripada hal baik.

Inilah yang disebut dengan Loss Aversion, ‘losses loom larger than gains’.

Video di atas adalah Social Experiment yang tepat untuk menunjukan seberapa besar Loss Aversion menginfluence perilaku kita.

Loss Aversion di Perusahaan

Setiap kali meeting awal dengan Client baru, saya sering ditanya:

“Mba, kenapa yah staff saya tuh gak bisa lebih inisiatif dan kreatif. Selalu semua-semua harus saya yang kerjakan atau putuskan?”

Untuk menjawab ini, saya rasa kita harus memposisikan berdiri di sepatu karyawan.

Karyawan tau mereka memiliki gaji tetap di perusahaan dengan bekerja setiap hari. Dan mereka akan melakukan pekerjaan sesuai job description yang ada di kontrak kerja.

Sekarang, apabila mereka dituntut untuk keluar dari zona nyaman mengambil keputusan atau mengeluarkan ide. 

Dalam hati mungkin mereka takut “Waduh, salah-salah nanti gaji saya dipotong” atau mereka simply gak mau kehilangan muka di depan kolega mereka karena mengajukan ide ‘bodoh’.

Bagaimana Bisnis Memanfaatkan Loss Aversion?

Diantara sekian banyak Fallacy, Loss Aversion adalah salah satu yang paling melekat di kehidupan sehari-hari.

Bahkan Marketer sering tanpa sadar menggunakan teknik ini untuk meng-influence pola pembelian.

Product Bundling

Ketika masuk ke toko retail, pasti Anda sering menemukan Product Bundling yang menawarkan beberapa varian produk dengan harga lebih murah daripada jika beli satuan.

Product Bundling Loss Aversion

Sehingga Anda mulai berpikir “Aduh sayang nih kalau ga beli yang ini” padahal belum tentu Anda perlu semua isian dalam bundling tersebut.

Kita akan dibuat berpikir “Sayang kalau ga di beli….” apalagi kalau diberi embel-embel Limited Offers.

Product Sizing

Saya yakin Anda familiar dengan Starbucks yang memiliki 4 variasi ukuran minuman.

Starbucks Sizes Loss Aversion

Nah, sekarang hampir setiap coffee shop menerapkan hal yang sama. Gak cuma itu banyak usaha lain yang menawarkan produk dengan ukuran yang berbeda-beda.

Tujuannya apa?

Sederhana saja, upselling.

Mayoritas dari kita memiliki kecenderungan untuk memesan 1 ukuran dibawah ukuran terbesar. Bukan yang terkecil, karena tanpa sadar, kita takut pilihan yang terkecil tidak cukup (kurang).

Efek FOMO (Fear of Missing Out)

Banyak Brand besar menciptakan produk Limited Edition yang hanya dijual dalam jumlah tertentu atau periode tertentu.

Brand fashion Supreme mungkin adalah salah satu yang paling jago menggunakan teknik ini.

Supreme Loss Aversion

Dengan dukungan selebriti, influencer dan partnership dengan brand besar lainnya. Supreme bisa menjual produknya dalam jumlah hitungan hari.

Ini membuat demand yang besar sekali. Akibatnya harga barang-barang Supreme melambung tinggi. Bayangkan satu buah kaos dengan logo Supreme bisa dijual di atas USD$5,000!

Tips memanfaatkan Loss Aversion dalam Marketing adalah bagaimana menciptakan komunikasi sehingga timbul persepsi pelanggan bahwa mereka akan kehilangan sesuatu (kesempatan, trend, materi atau lainnya) jika melewatkan penawaran yang diberikan.

Lalu, Apa Bisa Menghindari Loss Aversion?

Jujur saja, Loss Aversion gak bisa dihilangkan dari keseharian kita.

Coba perhatikan nenek moyang kita yang harus berburu di hutan. Satu kesalahan kecil saja bisa menyebabkan kematian.

Dan turun-temurun, kita akan diingatkan untuk selalu berhati-hati agar selamat melewati berbagai tantangan zaman.

Ini sebabnya, tanpa sadar kita akan selalu lebih peka terhadap hal negatif dibandingkan hal positif.

Namun, penting bagi Anda untuk sadar bahwa timbangan resiko kita tidak pernah berimbang, kita akan selalu menaruh beban lebih untuk hal yang kita anggap buruk.

Setelah saya pikir-pikir, mungkin Loss Aversion inilah alasan para Jomblo merasa bahagia.

Mendapatkan saja belum, bagaimana bisa kehilangan ? #ehhh

About the Writer

Cindy Levina has spent her career helping brands create better customer relationships through social media, content marketing, and public relations. Her passion working with influencers and creating a meaningful digital campaign has made her a force to be reckoned with. You can follow her on Instagram @cindylevina or on LinkedIn 

Facebook
Google+
Twitter
LinkedIn
© 2020 CV. Kontento. All Rights Reserved

Intangible Added Value: Tips Meningkatkan Nilai Bisnis Anda dengan Biaya Rendah

Intangible Value Added

Intangible Added Value: Tips Meningkatkan Nilai Bisnis Anda dengan Biaya Rendah

Ditulis oleh Indra R. Pangestu

Saya yakin jika anda sudah cukup lama di dunia bisnis, anda pasti sadar kalau biaya untuk mendapatkan pelanggan baru (Customer Acquisition) jauh jauh lebih tinggi dibandingkan biaya untuk ‘mengajak’ pelanggan untuk membeli lagi (Repeat Purchase).

Tapi kebanyakan pelanggan saya cuman datang sekali dan gak pernah balik lagi loh” curhat salah satu klien kami, “habis gimana yah, ada banyak saingan yang mereka bisa gonta ganti cobain.”

Nah, sebenarnya kunci dari pelanggan itu kembali atau tidak ke bisnis Anda hanya satu, yaitu mereka harus merasa puas.

Eh tapi pelanggan saya puas kog, tapi tetep gak balik.”

Ya mungkin puasnya hanya sekedar puas, karena di Kontento kami mengukur kepuasan pelanggan dengan rumus:

Customer Satisfaction (Kepuasan) = Perceived Value – Expectation

Jika anda ingin meningkatkan Kepuasan, tentu caranya adalah dengan meningkatkan Perceived Value dari produk ataupun jasa Anda.

Apa itu Perceived Value?

Perceived Value adalah nilai apresiasi yang diberikan oleh pelanggan terhadap produk ataupun jasa Anda.

Nilai apresiasi ini tidak melulu soal harga yah.

Namun bisa juga dalam bentuk waktu, perhatian, privacy, status, kenyamanan, ketenangan pikiran (ease of mind), kebahagiaan, hiburan, dan masih banyak lagi.

Sebagai contoh:

Ketika saya pergi ke Jepang bersama anak kembar saya yang waktu itu masih berumur 2 tahun.

Banyak banget keperluan barang yang harus kami bawa mulai dari popok, baju ganti sampai pengering botol. Intinya, koper yang kami bawa jauh lebih banyak dibandingkan traveller pada umum-nya.

Sedangkan kami tau, untuk traveling antar kota di Jepang, kami nantinya harus gonta-ganti kereta beberapa kali. 

Bagasi
Bisa bayangkan bagaimana saya dan istri harus mengendong 2 anak bayi umur 2 tahun dengan bagasi sebanyak ini?

Sangat tidak memungkinkan membawa begitu banyak barang, belum lagi stroller anak-anak. Apalagi nanti harus naik turun eskalator, lihat peta, lari-lari kejar kereta.

Mikirinnya aja dulu sempet pengen bikin kami membatalkan rencana travelling. Repot!

Untungnya saat itu saya menemukan jasa pengiriman koper mulai dari Airport ke Hotel, sampai antar hotel beda kota di Jepang.

Saat itu harga yang dibandrol sebenarnya ya pasti lebih tinggi daripada jasa pengiriman barang di Indonesia. 

Namun, bayangan kami bisa travelling cuman bawa stroller dan koper langsung sudah sampai di kamar hotel membuat harga yang harus dibayar menjadi reasonable buat kami. So we use their service.

Nah, jika jasa yang sama ditawarkan ke turis backpacker. Saya yakin mereka akan menolaknya. Lebih murah dan praktis bagi mereka menggendong barang kemana-mana.

Lalu Bagaimana dengan Expectation?

Saya rasa Anda pasti memiliki bayangan tentang apa itu Ekspektasi (Expectation).

Ketika kita melakukan sebuah transaksi, kita pasti punya suatu ekspektasi tertentu.

Expectation

Semakin mahal kita membayar untuk sebuah produk atau jasa maka ekspektasi kita akan semakin besar.

Ekspektasi ini biasanya muncul dari referensi dan pengalaman kita (atas produk/jasa yang sama) sebelumnya.

Jika pelanggan belum pernah menggunakan jasa atau membeli produk yang serupa, maka ekspektasi mereka akan sulit diperkirakan.

Bisa terlalu tinggi, ataupun terlalu rendah.

Contohnya:

Ketika saya mencoba fine dining untuk pertama kalinya. Saya dan mantan pacar (sekarang istri), sama sekali tidak tau apa yang akan kami terima. Kami datang tanpa ekspektasi (low expectation).

Diakhir sesi fine dining, kami sangat puas karena makanan yang disajikan sangat unik dan servis-nya pun sangat berbeda dengan makan di restoran biasa.

Akhirnya, pengalaman pertama ini menjadi tolak ukur expectation saya ketika fine dining berikutnya.

Bagaimana Cara Meningkatkan Perceived Value?

Tantangan lain yang sering dihadapi adalah ketika ingin MENAIKKAN HARGA untuk meningkatkan margin, tentu Perceived Value pelanggan harus ditingkatkan.

Kenapa?

Karena kita harga meningkat, tentu ekspektasi juga bertambah.

Untuk menjaga Kepuasan pelangga tetap terjaga di level yang kita inginkan maka Perceived Value harus ditingkatkan juga.

Solusi yang menurut saya baik untuk meningkatkan Perceived Value adalah dengan memberikan Added Value (nilai tambah) kepada produk ataupun jasa Anda.

Added Value sendiri dibagi menjadi 2 macam: Tangible (berwujud) dan Intangible (tidak berwujud) Added Value.

Tangible Added Value

Penambahan nilai dari produk dan jasa biasanya terlihat jelas dan bisa diukur dengan mudah oleh pelanggan.

Tangible Added Value biasanya dilakukan dengan mengganti kualitas bahan baku produk menggunakan yang lebih premium, menambah kuantitas produk dan lain sebagainya yang bersifat nyata.

Untuk sektor perhotelan, biasa ini terlihat dari equipment yang digunakan. Mulai dari ranjang super empuk, sprei dengan thread count tinggi ataupun memberikan welcome drinks and fruit yang beraneka ragam.

Tangible Added Value biasanya berujung dengan penambahan biaya (COGS) produk, sehingga margin pun berkurang.

Oleh sebab itu, pada artikel ini kami akan lebih konsentrasi ke Intangible Added Value.

Intangible Added Value

Disclaimer, Intangible Added Value juga tentu memerlukan biaya, namun cenderung jauh lebih kecil bahkan terkadang bisa tanpa biaya (hanya perlu kreativitas dan hati).

Umumnya, saya hanya perlu merubah rangkaian proses pelayanan yang sudah ada atau menambahkan value tertentu ke produk.

Kali ini saya akan memberikan 5 contoh Intangible Added Value yang sering Kontento bagikan ke Client:

1  Surprise, Surprise !!!

Kalau saya tanya, bagaimana cara menghilangkan Expectation dari rumusan paling awal tadi?

Tentu dengan memberikan elemen Surprise yang tidak di- expect oleh sang pelanggan.

Untuk menjelaskan ini, saya akan bagikan pengalaman saya ketika menginap di salah satu 5 Star Villa di Ubud bersama anak-anak dan istri.

Jujur, selama stay saya sangat puas dengan kualitas kamar, pelayanan, makanan dan pemandangan yang disajikan.

Tapi ada satu sentuhan yang membuat kami sekeluarga surprise in a very good way.

Sesaat setelah check out, ketika kami mau masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah, staff reception membawakan kami satu kotak kue ringan dan 4 botol air minum sambil berkata:

Pak Bu, ini ada sedikit cemilan untuk adik-adiknya selama perjalanan. Sudah hampir jam 12 siang, biar ada buat ganjel selama perjalanan

Wow! Saya tidak expect ini. Apalagi kami sudah check out.

Saya yakin ini memang salah satu SOP yang sudah dibikin, namun jujur saya tidak pernah mengalami ini di hotel lain.

Dan, jika kue ini diberikan saat check out tentu surprise-nya bisa biasa aja. Karena kami akan berpikir this is just a part of their checklist saat checkout.

Tapi memberikannya saat kami mau masuk mobil. It’s genius sih menurut saya.

Dan yang terpenting, kue dan 4 botol air? Saya yakin cost-nya tidak lebih dari Rp 20.000

2  Personalization

Banyak bisnis (terutama Bank) rajin mengirim hampers untuk nasabah premium pada hari besar seperti Ulang Tahun ataupun Wedding Anniversary.

Awal-awal mungkin hal ini sangat menyenangkan karena kita merasa diperhatikan. Namun setelah beberapa tahun, ini menjadi sebuah hal yang biasa. Nothing Special, bahkan pelanggan expects to receive this treatment.

Sebagai Account Relation Bank yang kreatif dan peduli terhadap nasabahnya, maka tinggal keluar effort lebih sedikit saja, maka hasil yang didapat akan jauh berbeda.

Misalkan, Anda bisa mencari lebih jauh sentimental things yang pelanggan Anda miliki. Hal yang pelanggan Anda passionate.

Seandainya pelanggan berencana Anniversary, Anda bisa stalking media sosial pelanggan untuk mencari tahu tempat pertama mereka dating.

Treat them to a romantic candle light dinner at the place (if possible), dengan sebuah surat yang ditulis dengan tangan tentang betapa istimewanya si pelanggan untuk Anda. And this is a little something to say thank you.

Thank-you-note: Personalize Value Added
Ilustrasi Thank You Note. Tuliskan beberapa hal personal untuk membuat lebih efektif

Biaya yang dikeluarkan tentu tidak akan berbeda jauh dari Hampers yang biasa dikirim. Tapi impact-nya jauh lebih memorable.

Bisa jadi sehabis itu si nasabah langsung memindahkan dana yang dititipkan di bank lain. Who knows?

3  Involvement

Apakah Anda pernah makan di restoran Korea dimana Anda masak daging yang dipesan sendiri?

Atau saya yakin Anda pernah sekali dua kali membeli furniture di IKEA dan merakit produk itu sendiri.

Apakah Anda sering kembali membeli produk dari kedua tempat diatas karena harganya paling murah?

Mungkin, tapi ada rahasia yang sebenarnya sukses di-implementasi baik oleh IKEA maupun restoran Korea.

Yaitu Customer Involvement, atau keterlibatan pelanggan pada proses bisnis.

IKEA Effect Involvement Value Added
Image Credit: Clement127 (Flickr)

Survei membuktikan bahwa pelanggan IKEA sangat puas dengan pembelian mereka. Namun yang membuat mereka happy adalah sense of competence yang didapatkan. Dalam hati seakan berkata “Bisa loh gw merakit sendiri lemari baju ini.”

korean bbq

Nah, bagaimana dengan restoran Korea? Coba perhatikan siapa yang biasanya memasak makanan saat di restoran Korea? 

Paling hanya 1-2 orang saja bener gak?

Kemungkinan besar, orang-orang yang masak ini memiliki keinginan untuk menunjukkan kepada teman-temannya bahwa, “Gw bisa loh masak, nih cobain deh masakan gw.”

Dari 2 case ini, kita bisa melihat bagaimana Involvement bukan hanya bisa meningkatkan Kepuasan Pelanggan, namun secara segi operasional Anda pun bisa sedikit berhemat.

4  Customization

Solusi ini paling cocok untuk Anda yang menjual produk komoditas. Dengan persaingan yang biasanya berujung dengan perbedaan harga, Product Customization bisa menjadi penentu puas atau tidaknya pelanggan Anda.

Share-a-coke Campaign
Image credit: Marketeers.com

Mungkin Anda ingat campaign “Share a Coke” dari Coca Cola yang sempat viral dengan botol minuman yang di desain tanpa logo Coca Cola? Logo diganti dengan Nama Depan paling populer di setiap negara.

Nutella Campaign Name Botol

Atau Nutella yang melakukan hal serupa?

Keduanya tidak hanya mendapatkan lonjakan penjualan, namun pelanggan merasakan koneksi emosional terhadap brand Coca Cola.

Nike Intangible Value Added: Customization

Nike juga adalah salah satu Brand yang paling awal memperkenalkan Customization untuk produk yang dijual secara online.

Pelanggan bebas untuk menentukan warna, ukuran dan bahkan model sepatu yang diinginkan.

Melalui proses customization, bukan cuma Nike mampu menjual langsung Direct to Customer dengan harga premium, namun kepuasan pelanggan pun terdongkrak tinggi.

Kira-kira, adakah elemen dalam bisnis Anda yang bisa dibuat lebih customized tanpa menyulitkan proses produksi? Jika iya, this is a great way to increase your Customer Satisfaction.

5  Symbolism

Beberapa tahun terakhir kita mulai sering melihat kampanye produk-produk dalam negeri dengan mengangkat nasionalisme. Banyak produsen sudah menyadari pentingnya symbolism dalam marketing.

Maspion bahkan sudah melakukan ini sejak bertahun lalu dengan campaign Cintailah Produk-Produk Dalam Negeri.

Kita hidup dalam dunia penuh simbol.

Simbol adalah representatif value yang kita anut sehari-hari. Symbolism ini sangat penting diperhatikan dalam marketing komunikasi.

Mobil Toyota Kijang misalnya, yang konsisten mengangkat komunikasi tentang keluarga.

Komunikasi ini sangat tepat mengingat masyarakat Indonesia memang terkenal memiliki value tentang keluarga yang sangat tinggi. Bahkan ada jargon “Makan gak makan yang penting kumpul”.

Hasilnya, Toyota Kijang hingga kini masih menjadi salah satu mobil favorit keluarga Indonesia.

Siap Memberi Value Added ke Pelanggan?

Sebenarnya, masih ada banyak tipe Intangible Added Value yang bisa digunakan.

Saat ini Kontento memiliki lebih dari 20 jenis kategori Intangible Added Value yang sering kami terapkan dalam usaha Client kami (sesuai dengan nature of business masing-masing).

Intangible-Value-Added-Diagram
Kontento Intangible Value Added Diagram

Namun yang sering menjadi tantangan utama adalah mau atau tidaknya Anda beralih dari Zona Nyaman Business as Usual.

Karena untuk setting up Value Added yang tepat, diperlukan waktu dan effort yang intense di awal prosesnya.

Kami di Kontento, terbuka dan selalu siap untuk berdiskusi, mengembangkan Service Blueprint dan Intangible Added Value bagi bisnis anda.

Kami percaya team anda adalah resource utama ide-ide pengembangan bisnis, yang diperlukan hanya trigger untuk melihat dari perspektif lain.

Send us a message and we’ll treat you a coffee to discuss it in more detail.

About the Writer
Indra Pangestu is a brand and digital content strategist who helps brands and influencers find, engage, and build their audiences across digital channels. Prior to founding Kontento, he build a media agency LiburanBali. You can follow him on Instagram @indrapangestu or on LinkedIn
Facebook
Google+
Twitter
LinkedIn
© 2020 CV. Kontento. All Rights Reserved

Distribution Channel: Kunci Berkembang Pesat, Modal Minim​

Distribution Chanel Cover

Distribution Channel: Kunci Berkembang Pesat, Modal Minim

Ditulis oleh Indra R. Pangestu

Beberapa hari yang lalu di Instagram ada iklan dari Aqua yang menarik perhatian saya.

“Mau Tambah Penghasilan Keluarga? Jadi mitra AQUA Home Services saja!”

Begitu Headline iklan tersebut.

Tentu sebagai orang yang kepo dan ingin penghasilan tambahan di tengah Pandemik COVID-19, akhirnya saya klik iklan itu untuk mencari tahu lebih detail.

Aqua Home Services
Ini Ads yang muncul di timeline saya.

Lalu, Apa hubungan AQUA Home Services dengan Distribution Channel?

Setelah membaca informasi tentang AQUA Home Services (AHS), ternyata ini bukan program baru. Justru sudah diluncurkan sejak 2013 dan bahkan di Bali juga sudah cukup banyak yang terdaftar anggota AHS.

Bisnis model AHS sendiri menyerupai sistem ‘Franchise’ tapi dibalut dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Sehingga, melalui program AHS, AQUA membantu ibu-ibu rumah tangga menghasilkan uang dari rumah.

AHS memberikan tools perangkat bisnis dan berbagai training untuk membernya mampu mengelola bisnis Air Mineral.

Sebagai ‘penyemangat’, AHS juga memiliki 3 tingkat level keanggotaan sesuai omzet penjualan yaitu: Silver, Gold, dan Diamond.

Setiap level keanggotaan memiliki ‘keuntungan’ tersendiri yang lebih berfokus kepada Marketing. Bahkan bagi level Diamond, agen diberikan renovasi toko secara cuma-cuma. 

WOW!

Kalau dilihat dari kacamata bisnis, sebenarnya melalui program ini AQUA menginginkan untuk memiliki toko-toko kecil yang tersebar dimana-mana, hingga ke pelosok desa sekalipun TANPA harus mengeluarkan biaya untuk operasional dan sales yang besar.

Hampir seluruh resiko dihibahkan ke Agent yang ikutan AHS. Mulai dari biaya toko, staff sampai inventory.

Apa Distribution Channel seperti ini Lazim?

Yang dilakukan Aqua ini menurut saya cukup mirip dengan yang dilakukan oleh Bank BRI sejak 2014 melalui program BRI Link.

BRI Link adalah program branchless banking dengan memanfaatkan teknologi untuk menjangkau lebih banyak nasabah.

Konsep BRI Link sendiri cukup sederhana, dengan memberikan para Agent (sebutan member BRI Link) akses kepada Sistem yang memungkinkan Agent untuk melakukan beberapa aktivitas perbangkan seperti:

  • Pembukaan rekening baru BRI
  • Isi Ulang Pulsa, Token Listrik dan utilitas lainnya
  • Pembayaran Cicilan di Leasing Company
  • Setor dan penarikan uang tunai sampai dengan jumlah tertentu (penarikan menggunakan kartu ATM dengan mesin EDC)
  • Pinjaman Mikro

Program BRI Link ini terbilang cukup sukses, hal ini tercermin dari 422.160 orang anggota yang sudah tergabung menjadi Agent BRI Link hingga akhir Desember 2019. Bahkan, di tahun 2019 kemarin, mereka mencatat pertumbuhan tercepat dengan bertambahnya 56 orang agent baru setiap harinya.

Bisa bayangkan gak pertumbuhan bisnis yang bisa Anda capai dengan membuka 56 cabang baru setiap hari nya?

Gak heran kalau ini semakin memantapkan posisi Bank BRI sebagai Bank dengan jumlah nasabah terbanyak di Indonesia dan tersebar hingga ke daerah-daerah yang masih sulit terjangkau.

Distribution Channel Agents: Rahasia Utama Pertumbuhan Bisnis

Apa yang dilakukan oleh AHS dan BRI Link ini memiliki benang merah yang jelas.

Tujuan utama AQUA dan BRI adalah membuka distribution channel melalui agen baru untuk menyalurkan produk dan layanan ke lebih banyak pelanggan dengan biaya operasional dan investasi yang minim.

Dilain pihak, kedua BIG Brand ini menawarkan peluang bisnis bagi para membernya. Kita telah mengenal banyak model peluang bisnis serupa dengan konsep seperti ‘franchise’ ini sebelumnya. Hanya saja terasa unik jika dilakukan oleh AQUA yang merupakan brand terkuat untuk air mineral di +62 hingga saat ini.

Atau dilakukan oleh sektor Perbankan, masak sih bank buka ‘franchise’? Kenapa kog dari tadi saya bilang ‘franchise’? Karena langkahnya sama seperti franchise, yaitu sedia modal, diberi sistem, dan langsung bisa berbisnis di bawah brand orang lain.

Pertumbuhan BRILink 2017 -2019
Graphic Pertumbuhan BRILink dari tahun 2017 - 2019

Melalui metode ini, BRI Link berhasil membukukan pertumbuhan yang signifikan sekali. Transaksi yang dilakukan HANYA melalui BRI Link meningkat dari Rp. 298 Triliun di tahun 2017 menjadi Rp. 672 Triliun di 2019. Atau naik sekitar 225%! 

Pertumbuhan yang sangat luar biasa tanpa keluar modal yang besar kan?

Bagaimana Menerapkan Model Distribution Channel Agent di Bisnis UKM

Entah mengapa membicarakan 2 bisnis di atas, saya jadi teringat Minyak Kutus-Kutus yang ‘fenomenal’ itu.

Sempat trending beberapa waktu lalu, mulai dari harga yang fantastis hingga khasiat nya yang konon bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Namun ada 1 hal yang terkadang luput dari perhatian banyak orang, yaitu peluang bisnis di balik minyak Kutus-Kutus.

Minyak Kutus-Kutus (MKK) di luar segala klaim dan fakta tentang produknya, memiliki bisnis model yang menurut saya sangat menarik.

Yaitu.. Pricing strategy yang jelas untuk reseller.

Qty Harga Satuan Total Harga Keuntungan
6 Botol Rp 190.000 Rp 1.150.000 Rp 230.000
12 Botol Rp 170.000 Rp 2.050.000 Rp 710.000
60 Botol Rp 165.000 Rp 9.900.000 Rp 3.900.000
120 Botol Rp 155.000 Rp 18.600.000 Rp 9.000.000

Note: Semakin tinggi quantity yang diambil maka harga satuannya menjadi lebih murah.

Hitungan keuntungan diatas diperhitungkan dengan harga eceran di pasaran yaitu Rp 230.000 per botolnya. 

Pricing Strategy yang konsisten dipertahankan oleh produsen ini menciptakan peluang bisnis yang menarik untuk mereka yang ingin berjualan MKK.

Besar kecil nominal margin keuntungan tentu akan proporsional dengan modal yang dikeluarkan oleh reseller.

Sedangkan MKK sendiri diuntungkan karena distribusi produk bisa lebih cepat. Reseller yang sanggup hanya berjualan 12 botol misalnya, masih bisa membeli dari yang modal 60 botol. Masih ada selisih margin di sana.

Brillian! 

Dengan sistem tersebut MKK berhasil menciptakan cukup banyak ‘salesperson’ yang baik, rajin mengkomunikasikan tentang khasiat MKK di berbagai media dan kesempatan dengan berbagai cara mulai dari yang soft selling hingga hard selling banget.

3 Hal yang Perlu diperhatikan Untuk Mengembangangkan Chanel Distribusi Agent

Tantangan utama bisnis di masa depan adalah bagaimana bisa membuat distribution channel dengan biaya serendah mungkin.

Persaingan akan semakin ketat. Brand baru bermunculan setiap hari di semua sektor.

Dunia marketing akan menjadi noise dan biaya marketing yang dikeluarkan akan semakin besar.

Ini alasan kenapa kita perlu lebih peka terhadap perubahan jaman ke depannya. Harvard Business Review mengungkapkan pada salah satu artikel “The Era of Antisocial Social Media” bahwa kedepannya marketing akan sangat berfokus kepada komunitas dengan minat yang sama.

Prediksi kami kedepan, berjualan di WhatsApp grup akan menjadi lebih efektif daripada beriklan di Digital Media (Sosmed, Search Engine, dll).

Untuk itu agent bisa jadi salah satu poros yang dapat terus mengembangkan usaha Anda.

Berikut ini 3 tips yang perlu diperhatikan saat mengembangkan Distribution Channel Agent:

1  Grow by helping Agents Grow.

Hal ini sudah banyak dilakukan oleh industri seperti Asuransi atau bisnis jaringan (MLM).

Mereka sangat kuat dalam pelatihan dan motivasi. Namun tidak tertutup bisa dilakukan oleh industri-industri lainnya. Agent harus selalu di edukasi terhadap perubahan kondisi industri, produk dan disertai dengan ketersedian tools dan sistem yang memudahkan mereka bekerja.

Bayangkan jika Anda memiliki salon potong rambut dengan ‘agen’ di kampus-kampus.

Agen-agen ini memiliki pengetahuan tentang style terkini, treatment yang bisa bikin rambut terlihat lebih cantik dan selalu tampil prima saat ke kampus.

Dengan adanya insentif (komisi) yang jelas, agen-agen ini akan selalu merekomendasikan salon Anda sebagai tempat paling tepat untuk urusan rambut.

Saat Anda ada di posisi ini, maka saya yakin concern Salon anda kedepan hanya satu, bagaimana cara menerima bookingan yang banjir setiap harinya.

2  Map your business process and find how to digitize it.

Baik bisnis produk maupun jasa harus mulai mendokumentasikan dengan baik bisnis process & system mereka.

Khususnya memetakan touchpoint dengan pelanggan (atau di Kontento kami menyebutnya Customer Service Blueprint). Kami yakin dengan pemetaan yang baik, setiap bisnis bisa menemukan caranya untuk memperluas distribution channel nya.

COVID-19 telah mengenalkan banyak orang kepada sesuatu hal yang baru, Online Learning dan Video Conference. 

Konten Video Series bisa didokumentasikan sehingga memudahkan member mempelajari proses berjualan dengan mudah (lebih visual dan engaging). 

Dibawah ini salah satu contoh video edukasi bagi para agent AHS:

Selain itu, berbagai sesi tanya jawab dan members gathering juga bisa diadakan secara rutin melalui video conference.

3  Evaluate your Rate Structure and find new distribution channel

Dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 telah dirasakan oleh semua orang saat ini, hampir semua industri telah terpengaruh. Daya beli masyarakat menurun. Ini saat yang krusial untuk mengevaluasi bisnis model sebelumnya, terutama Rate Structure produk Anda.

Biaya marketing yang sebelumnya membebani biaya operasional dan merupakan elemen harga pokok bisa dialihfungsikan untuk membuka channel distribution baru.

Nah, belajar dari 3 case study diatas, Anda bisa melirik opsi merekrut Agen-agen dengan imbalan sharing profit (bisa dari biaya marketing yang dialihfungsikan tadi).

Pilih relasi-relasi agen yang potensial, tidak semata karena hubungan dekat, tetapi karena mereka memiliki kemampuan dan audience yang bisa membawa bisnis untuk Anda.

Saran kami jangan terlalu banyak memilih agent, karena akan sulit mengontrol harga retail.

Kita tentu tidak mau ada agen yang sengaja menurunkan profit karena persaingan antar agen. Karena ini akan merugikan image harga kita untuk jangka panjangnya.

Kini saat nya mempraktekkan jargon yang sudah lama digunakan oleh MLM, biaya marketingnya langsung dibagikan ke agen / member.

Siap Memanfaatkan Distribution Channel Agent?

Kalau Unicorn seperti Gojek atau AirBNB terkenal sebagai Perusahaan transportasi terbesar tanpa memiliki kendaraan dan Perusahaan Akomodasi terbesar tanpa memiliki kamar.

Bisa nggak kita jadi perusahaan dengan Sales people terbanyak tanpa menggaji Sales, gajinya langsung potong margin ato komisi aja, kalau bisa malah salesnya yang setor modal dulu di muka =D
Melihat AQUA, Bank BRI dan Minyak Kutus Kutus, tentu jawabannya “BISA”.

Sekarang giliran Anda mencoba.

About the Writer
Indra Pangestu is a brand and digital content strategist who helps brands and influencers find, engage, and build their audiences across digital channels. Prior to founding Kontento, he build a media agency LiburanBali. You can follow him on Instagram @indrapangestu or on LinkedIn
Facebook
Google+
Twitter
LinkedIn
© 2020 CV. Kontento. All Rights Reserved

Sunk Cost Fallacy: Kenapa Terlanjur Sayang Bisa Membunuh Bisnis-mu

Sunk Cost Fallacy

Sunk Cost Fallacy: Kenapa Terlanjur Sayang Bisa Membunuh Bisnis-mu

Ditulis oleh Cindy Levina

Pernah gak sih kamu memaksakan diri menonton film yang suaangattt nge-bosenin sampai habis?

Dalam benak mikir “Duh nanggung. Udah setengah jalan nih..” Atau bisa jadi juga karena sayang udah keluar uang untuk bayar bioskop.

Sunk Cost Fallacy
Original Illustration by OMG I'm Thirty

Atau nihhh, ketika maksain makan sampai begah di restaurant All You Can Eat, meskipun sadar itu mungkin gak baik untuk kesehatan. Pikiran yang sering terlintas “Udah bayar ini, kudu cuan!”

Untuk wanita mungkin sesudah membeli baju, yang ternyata gak cocok cocok amat. Otak kita akan bekerja keras untuk menciptakan berbagai alasan: “Ah aku belum punya warna ini“, “cocok juga ah kalau pake bawahan ini” atau berbagai pembenaran lainnya

Wah kog bisa yah?

Apa sih yang membedakan Manusia dengan makhluk hidup lainnya?”

Kita memiliki akal dan budi. Jawab saya di lembar ulangan PPKN, sekitar 20 tahun lalu saat masih duduk di Sekolah Dasar. Ulangan saya langsung dapat 10!

Manusia memang dibekali dengan kemampuan untuk berpikir secara logis.

Namun, sebenarnya manusia bukan makhluk yang logis dalam mengambil keputusan loh.

Kita adalah makhluk Impulsif. Kita tidak serasional yang kita bayangkan.

Daniel Kahneman, psikolog paling terkenal di era modern membuktikan hal ini di era 70-an.

Cognitive Bias adalah istilah yang digunakan Kahneman untuk mendeskripsikan fenomena pengambilan keputusan yang mengesampingkan logika.

Nah, kali ini saya akan membahas salah satu Cognitive Bias yang paling banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. 

Fenomena yang membuat kita terus mengambil keputusan yang salah seperti contoh yang saya ceritakan di awal artikel ini.

Sunk Cost Fallacy.

Sunk Cost Fallacy: Why it is Ruining Your Decision

Sunk Cost ini sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan baik personal maupun bisnis.

Sunk Cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan.

Resource disini bukan sekedar uang, namun mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki value.

Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya, karena resource yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga Sunk Cost Fallacy terkadang muncul tanpa kita sadari.

Hampir semua kolega saya yang bekerja di korporasi pernah mengalami kondisi di mana mereka implementasi sistem yang meskipun dari awal mereka sudah tau kurang sesuai, namun oleh si Boss tetap dipaksakan untuk digunakan (karena sudah terlanjur pakai).

Atau skenario lain, ketika design dari staff bergaji rendah dibandingkan dengan konsultan Branding berbiaya mahal.

Pengambil keputusan cenderung akan lebih memilih ide dari konsultan berbiaya mahal tersebut, meski mungkin menurut penilaian banyak orang hasil staff lebih bagus.

Untuk kamu yang pernah nyemplung ke dalam dunia investasi, Cut Loss adalah pilihan yang sangat berat. Banyak orang justru lebih memilih average down saham yang sama, meski itu dalam kondisi menangkap pisau yang jatuh. Padahal mungkin ada pilihan saham lain yang lebih baik jika melakukan Cut Loss.

Mengapa?

Monkey Sunk Cost Fallacy
Illustration by Christoph Niemann

Karena sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain (walaupun hal itu mungkin lebih bagus).

Pada dasarnya manusia lebih takut kehilangan daripada mendapatkan sesuatu dengan value yang sama (atau istilah kerennya Loss Aversion).

Tentu dalam menjalankan bisnis atau sebelum mengambil keputusan, kamu sudah menimbang dengan baik. 

Namun, ketika sudah berjalan tapi dalam hati kecil kamu mulai terbersit hal-hal sejenis ini:

Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “

Sudah bayar sekiann, cobain dulu deh….“

Tanggung, buku ini sudah setengah saya baca… “

Sudah 6 bulan kita melakukan ini, sebentar lagi pasti terlihat hasilnya….”

Mungkin ada baiknya kita mulai merefleksikan. Apakah benar kita perlu melanjutkan karena hal ini memang baik.

Atau karena kita menghindari dilema ketika kita harus membuang segala sesuatu yang telah kita korbankan sebelumnya.

Akhir kata, kalau kalian punya teman yang suka putus sambung ama pacar-nya, lalu dijawab “Aduh aku udah terlanjur sayang” 

– monggo share link artikel ini, siapa tau dia tercerahkan =D

About the Writer

Cindy Levina has spent her career helping brands create better customer relationships through social media, content marketing, and public relations. Her passion working with influencers and creating a meaningful digital campaign has made her a force to be reckoned with. You can follow her on Instagram @cindylevina or on LinkedIn 

Facebook
Google+
Twitter
LinkedIn
© 2020 CV. Kontento. All Rights Reserved

5 Strategi Marketing Pasca COVID-19

COVID-Marketing-Strategy

5 Strategi Marketing Pasca Covid-19

Ditulis oleh Indra R. Pangestu

Siapa yang sudah mulai terbiasa #DiRumahAja ataupun Work from Home?

Saat ini, saya pribadi sih masih kesulitan mendapatkan level produktivitas yang sama seperti sebelum masa pandemik COVID-19.

Tapi saya sudah mulai terbiasa…

Seiring berjalannya waktu (yang kita gak tau sampai kapan pandemik ini berlangsung), saya yakin Anda pun akan mulai terbiasa hidup dengan ‘The New Normal Way of Living’.

The New Normal Way of Living?

Sadar ataupun tidak, Pandemik COVID-19 sedikit demi sedikit merubah pola hidup kita (Behaviour Change).

Berikut ini ada 4 Perubahan Perilaku Konsumen yang saya temui beberapa minggu belakangan:

1  Memilih Gaya Hidup Sehat

Mulai dari rajin cuci tangan, olahraga di rumah, sampai dengan mulai mengkonsumsi bahan makanan dan minuman yang natural untuk menjaga daya tahan tubuh (baca: jamu).

2  Semua-Semua Serba Online

Efek paling besar dari Social Distancing akhirnya memaksa kita untuk melakukan segala interaksi sosial pindah ke online.

Meeting dengan Client, get in touch sama teman dan keluarga semua pindah ke Google Meet ataupun Zoom. Bahkan nih, Nonton Bareng (NoBar) Netflix aja bisa dilakukan menggunakan aplikasi Netflix Party.

Untuk meningkatkan kemungkinan mendapat pekerjaan baru saat dan setelah COVID-19, orang-orang juga mulai terbiasa untuk belajar skill baru secara online. Gak heran sih kalau kedepannya home schooling atau vocational study bakal menjadi trend.

3  Penghematan Keuangan

Situasi Covid-19 menjadi salah satu pelajaran paling berharga bagi kebanyakan orang (khususnya Millenial yang terbiasa hidup YOLO). Yaitu pentingnya memiliki Dana Darurat paling tidak 3 – 6 bulan kedepan.

Kemungkinan besar pelajaran ini akan membuat kebanyakan orang kedepannya lebih pikir panjang sebelum melakukan pembelian barang ataupun jasa.

4  Empati Terhadap yang Lebih Membutuhkan

Salah satu hal paling positif yang bisa kita lihat saat masa Pandemik COVID-19 adalah sifat tenggang rasa yang sering diajarkan saat kita jaman SD tapi seperti sudah lama terlupakan.

Kita bisa lihat banyak orang ataupun bisnis yang memberikan produk (biasanya makanan) dengan cuma-cuma kepada abang Ojol maupun orang-orang yang kesulitan finansial. Beberapa usaha, seperti Anna Avantie juga merubah operasional perusahaannya untuk memproduksi baju ADP maupun masker yang diberikan gratis ke tenaga medis maupun masyarakat.

Walaupun COVID-19 berakhir, saya rasa Behaviour Changes di atas akan sedikit banyak membekas di sebagian besar masyarakat.

Penting bagi marketer untuk mempelajari perubahan perilaku ini dan memonitor terus perubahan lain yang mungkin terjadi seiring dengan perkembangan Pandemik.

Lalu, Strategi Marketing Apa yang Harus dirancang Untuk Survive Pandemik COVID-19?

1

Ubah Persepsi Produk / Servis menjadi Basic NEED bukan sekedar WANT

Seperti saya tulis diatas, kedepannya konsumen akan lebih melek finansial. Sentimen kedepannya mereka akan lebih ‘sulit’ mengeluarkan uang untuk membeli sebuah produk ataupun servis.

Konsumen akan lebih peka dan menimbang-nimbang value dari produk dan jasa anda.

“Apa saya benar-benar perlu produk / jasa ini yah?”..

Nah, oleh karena itu mulai dari sekarang, coba mulai membentuk Brand Image dimana kedepannya Produk dan Jasa anda bisa dikategorikan sebagai NEED (Kebutuhan), bukan sekedar WANT (Keinginan atau Impulsive Buying).

#KontenToTry:
Bagaimana caranya merubah kategori produk menjadi NEED?

Tentu dengan membuat persepsi dimana Produk / Jasa anda mampu membantu konsumen untuk mencapai tujuan (Goals) mereka.

Misalkan nih, anda toko musik menjual alat Gitar.. Jangan hanya membranding anak muda bisa main Gitar itu keren. Tapi posisikan bagaimana Gitar ini bisa membantu anak muda jaman now bisa mulai menghasilkan pendapatan walau belum lulus SMA atau bagaimana cara menaklukan hati si doi.

Untuk itu dibutuhkan Content Marketing yang bisa membentuk persepsi ini.

Misalkan, anda membuat tutorial “10 Lagu Cinta untuk Mengambil Perhatian si Doi versi Beginner”. Atau artikel “3 Cara Menghasilkan Passive Income di Youtube Hanya Bermodal Gitar” bagi mereka yang termotivasi untuk mencari side job di saat Pandemik Corona.

Coba sekarang anda ambil kertas dan jabarkan, bagaimana produk atau jasa anda bisa membantu konsumen untuk achieve Goals jangka pendek maupun panjang mereka (baik di situasi COVID-19 ini maupun untuk mempersiapkan mereka saat pandemik berakhir).

2

Hilangkan Hambatan untuk Penggunaan Teknologi Online

Sebelum COVID-19, kebanyakan generasi millenial sudah go online untuk beberapa aspek kebutuhan hidup. Namun pandemik ini mempercepat proses transisi orang hidup serba digital. Bahkan generasi Baby Boomer dan Gen X yang kurang percaya online, sudah mulai terpaksa berpindah ke pilihan itu.

Mereka terpaksa mulai belajar bagaimana cara menggunakan Ojek Online, belanja di Marketplace sampai cara menggunakan Zoom dan Google Meet agar bisa berinteraksi dengan sang cucu.

Namun sayangnya, kebanyakan bisnis sekarang masih jarang yang memiliki lini bisnis Digital. Walaupun sudah memulai tapi bisa dibilang kurang maksimal.

Masih banyak hambatan (barrier) agar konsumen mau menggunakan aplikasi yang sudah disiapkan. 

Sebagai contoh, kita bisa lihat toko baju online. Walaupun ada beberapa orang yang mulai terbiasa pesan online. Kebanyakan pasti masih lebih memilih untuk datang ke toko untuk membeli baju. 

Kenapa?

Tentu karena di toko, mereka bisa mencoba dahulu baju yang diinginkan, apakah cocok dengan bentuk tubuh, apakah warnanya masuk dengan skin tone… dan masih banyak lagi.

Dan juga, berbelanja di toko, mereka bisa langsung mendapatkan barang yang dibeli saat selesai membayar.

#KontenToTry:
Bagaimana agar konsumen mau berpindah ke Online Store?

Solusinya adalah mengeliminasi satu persatu hambatan yang memberi alasan bagi konsumen untuk bilang ‘hmmm ribet ah kayaknya’ atau ‘enakan belanja langsung di toko’

Nah, kalau pada kasus diatas, mungkin solusi kedepannya adalah penggunaan teknologi Augmented Reality (AR) yang semakin mainstream digunakan. Sehingga konsumen bisa seolah-olah mencoba produk yang diinginkan.

Beberapa Fashion Brand Luxury besar sudah menggunakan teknologi ini semenjak tahun 2018. 

Dan tentu sistem ini harus didukung dengan logistik yang kuat. Sehingga konsumen bisa mendapatkan kepastian kapan mereka akan menerima order-an.

Ada baiknya, anda mulai mencari tau alasan apa saja yang biasa menjadi penghambat konsumen anda belanja produk atau jasa anda langsung via online. Setelah itu cari solusinya.

3

Persiapkan User Experience yang Memuaskan

Selain menghilangkan hambatan untuk transisi ke dunia Digital, bisnis juga harus mulai memikirkan segala aspek User Experience saat menggunakan service atau membeli produk pada platform yang disiapkan.

User Experience ini mencangkup kemudahan menggunakan aplikasi (user interface) mulai dari pendaftaran, mencari informasi sampai metode pembayaran. Semua harus dirancang se-intuitif mungkin sehingga konsumen tidak menemukan kesulitan saat mengakses.

#KontenToTry:
Apa Langkah terpenting untuk Meningkatkan User Experience?

Saat ini masih banyak banget usaha UMKM yang boro-boro memiliki dedicated e-commerce store, bahkan masih banyak yang hanya mengandalkan jualan via facebook dan whatsapp saja.

Sebenarnya untuk awal facebook dan instagram sudah bisa dijadikan store front, namun anda harus melengkapi dengan kebutuhan untuk menunjang User Experience yang baik.

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan User Experience yang baik:

Cara Meningkatkan User Experience

Namun, dua hal yang paling basic saat ini adalah layanan Live Chat dan integrasi dengan Payment Gateway

Sehingga dengan mudah, konsumen mendapatkan jawaban atas segala keraguan terhadap produk / jasa dan bisa langsung melakukan pembayaran dengan nyaman (klik satu-dua tombol saja).

Saat ini WhatsApp business sudah bisa dijadikan solusi untuk Live Chat dan Midtrans sebagai Payment Gateaway dengan pilihan pembayaran paling bervariasi (termasuk bisa membuat konsumen bisa membayar menggunakan Gopay).

Jika tidak segera dirancang dengan baik, tentu ini akan menyebabkan banyak Loss of Opportunities ketika konsumen akhirnya memilih kompetitor yang mampu memberikan Experience yang lebih baik.

4

Tingkatkan Digital Ads dengan Goals yang Tepat

Perlu saya ingatkan nih, walaupun konsumen sekarang lebih melek teknologi, namun mereka sekarang lebih pilih-pilih saat membeli barang. Otomatis, dana yang mereka siapkan untuk belanja kebutuhan-pun semakin ‘seret’.

Ini menyebabkan persaingan antar Brand untuk memenangkan proporsi dana konsumen di dunia online.

Apa cara terbaik untuk bisa memenangkan persaingan ini? Tentu dengan lebih sering muncul di timeline ataupun hasil pencarian (search result) konsumen dengan komunikasi di poin pertama.

Sebenarnya ada beberapa cara untuk mendapatkan traffic (social media, SEO maupun direct traffic), namun yang paling instan dan cepat adalah dengan Paid Ads alias iklan berbayar.

Traffic to Sales Funnel

Untuk itu, diperlukan proporsi marketing budget Digital Ads yang lebih besar demi meningkatkan online impression.

Namun hati-hati yah, jangan asal pasang budget tinggi sebelum anda mengerti betul mengenai Digital Sales Funnel dan menentukan Key Performance Indicator (KPIs) yang tepat.

Saya akan bahas mengenai Sales Funnel dan KPI di artikel yang terpisah yah. Karena bakal panjang banget!

Intinya sih, setiap dana marketing yang dikeluarkan harus terukur dan bisa dianalisa dengan baik. Sehingga kedepannya, anda bisa memaksimalkan campaign yang berhasil dan mengeliminasi campaign yang gagal.

5

Menjalankan Cause Related Marketing

Ditengah krisis Pandemik ini, kita bisa melihat benar-benar melihat attitude seseorang dan bisnis. Mereka yang tulus membantu orang-orang yang kesulitan mendapatkan awareness yang tinggi pula.

Sebaliknya, mereka yang mencari uang diatas penderitaan orang lain (misalkan menumpuk masker untuk dijual kembali dengan harga premium), mendapatkan publisitas buruk yang akan mencoreng Brand dalam jangka panjang.

Dari sini kita belajar juga, bagaimana jika bisnis kita menerapkan Marketing dengan membantu orang lain (istilah kerennya Cause Related Marketing atau Corporate Social Responsibility) maka bisa juga menaikan nilai Brand dan mendapatkan publisitas yang baik pula.

Namun anda harus berhati-hati, tidak menggunakan ini hanya sebagai gimmicks saja. Bisnis anda harus benar-benar berkomitmen membantu.

#KontenToTry:
Bagaimana Cara Memulai Cause Related Marketing?

Contoh paling populer tentu sepatu TOMS yang dulu sempat menjalankan campaign One for One. Dimana setiap pembelian satu sepatu, mereka akan menyumbangkan satu sepatu kepada anak di negara berkembang yang membutuhkan.

Cause Related Marketing anda akan lebih efektif jika masih berhubungan dengan bisnis anda.

Misalkan, kita pakai contoh toko Gitar diatas. Anda bisa menyisihkan 10% dari profit anda untuk mengedukasi pengamen jalanan dengan skill dan pengetahuan untuk bisa perform dengan standard yang lebih baik. Mana tau jika suatu saat salah satu pengamen yang anda bantu lolos The Voice, brand anda-pun ikut terangkat.

Sudah Siapkah Anda untuk Survive COVID-19?

Siap ataupun tidak, waktu akan terus berjalan. Semua Brand akan terus berusaha untuk menyesuaikan cara mereka berbisnis. Its Survival of the Fittest.

Jika anda ingin terus bertumbuh, maka anda harus mampu beradaptasi dengan kondisi sekarang.

Things don’t get better by chance, they get better by change.

Saya akan dengan senang membantu perusahaan anda untuk transisi menjadi leader di ekosistem Digital. Let’s get a coffee… when the pandemic is over tentunya.

Stay healthy!

About the Writer
Indra Pangestu is a brand and digital content strategist who helps brands and influencers find, engage, and build their audiences across digital channels. Prior to founding Kontento, he build a media agency LiburanBali. You can follow him on Instagram @indrapangestu or on LinkedIn
Facebook
Google+
Twitter
LinkedIn
© 2020 CV. Kontento. All Rights Reserved