Coba bayangkan dulu yah skenario percakapan seorang Ibu dan Sales service mobil berikut:
“Bu, sebaiknya Sparepart ini diganti yah supaya kedepannya mobil Ibu lebih irit bensin”
Ah, bisa aja nih sales, mau upselling gw. Kurang lebih itu mungkin yang terpikir oleh si Ibu.
Bayangkan kembali kalau misal kita ubah bahasa-nya menjadi:
“Bu, sebaiknya Sparepart ini diganti yah, kalau engga mobil Ibu bakal boros bensin”
Kedua skenario diatas sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu menawarkan penggantian sparepart mobil. Hanya framing penawaran-nya aja yang berbeda.
Yang pertama berfokus kepada apa yang akan pelanggan dapatkan (lebih irit) sedangkan yang kedua berfokus kepada potensi kehilangan (lebih boros).
Menurut Anda mana yang lebih efektif?
Saya yakin penggunaan kalimat kedua memiliki efek yang lebih ampuh buat bikin si Ibu ngeluarin kartu kredit-nya buat belain bayar sparepart baru itu.
Kenapa yah?
Karena pada dasarnya secara naluri kita lebih takut untuk kehilangan daripada mendapatkan sesuatu walaupun dengan value yang sama.
Loss Aversion di Kehidupan Sehari-hari
Coba bayangkan Anda lagi jalan di dekat rumah dan gak sengaja nemuin uang Rp. 100.000.
Mungkin setelah 1-2 hari, Anda udah gak inget tentang kejadian ini.
Tapi coba bayangkan lagi ketika Anda kehilangan uang dengan nominal yang sama.
Mungkin sampai 1 minggu kedepan, Anda masih mencoba ingat-ingat dimana yah uang itu keselip.
Skenario lainnya nih,
Sadar gak, ketika Anda jalan kaki malam hari di trotoar kota.
Biasanya Anda lebih waspada dengan wajah orang yang terlihat seram atau gerak gerik mencurigakan daripada ketika ada wajah ramah yang tersenyum pada Anda.
‘Fenomena’ ini disebabkan karena manusia lebih sensitif terhadap hal buruk daripada hal baik.
Inilah yang disebut dengan Loss Aversion, ‘losses loom larger than gains’.
Video di atas adalah Social Experiment yang tepat untuk menunjukan seberapa besar Loss Aversion menginfluence perilaku kita.
Loss Aversion di Perusahaan
Setiap kali meeting awal dengan Client baru, saya sering ditanya:
“Mba, kenapa yah staff saya tuh gak bisa lebih inisiatif dan kreatif. Selalu semua-semua harus saya yang kerjakan atau putuskan?”
Untuk menjawab ini, saya rasa kita harus memposisikan berdiri di sepatu karyawan.
Karyawan tau mereka memiliki gaji tetap di perusahaan dengan bekerja setiap hari. Dan mereka akan melakukan pekerjaan sesuai job description yang ada di kontrak kerja.
Sekarang, apabila mereka dituntut untuk keluar dari zona nyaman mengambil keputusan atau mengeluarkan ide.
Dalam hati mungkin mereka takut “Waduh, salah-salah nanti gaji saya dipotong” atau mereka simply gak mau kehilangan muka di depan kolega mereka karena mengajukan ide ‘bodoh’.
Bagaimana Bisnis Memanfaatkan Loss Aversion?
Diantara sekian banyak Fallacy, Loss Aversion adalah salah satu yang paling melekat di kehidupan sehari-hari.
Bahkan Marketer sering tanpa sadar menggunakan teknik ini untuk meng-influence pola pembelian.
Product Bundling
Ketika masuk ke toko retail, pasti Anda sering menemukan Product Bundling yang menawarkan beberapa varian produk dengan harga lebih murah daripada jika beli satuan.
Sehingga Anda mulai berpikir “Aduh sayang nih kalau ga beli yang ini” padahal belum tentu Anda perlu semua isian dalam bundling tersebut.
Kita akan dibuat berpikir “Sayang kalau ga di beli….” apalagi kalau diberi embel-embel Limited Offers.
Product Sizing
Saya yakin Anda familiar dengan Starbucks yang memiliki 4 variasi ukuran minuman.
Nah, sekarang hampir setiap coffee shop menerapkan hal yang sama. Gak cuma itu banyak usaha lain yang menawarkan produk dengan ukuran yang berbeda-beda.
Tujuannya apa?
Sederhana saja, upselling.
Mayoritas dari kita memiliki kecenderungan untuk memesan 1 ukuran dibawah ukuran terbesar. Bukan yang terkecil, karena tanpa sadar, kita takut pilihan yang terkecil tidak cukup (kurang).
Efek FOMO (Fear of Missing Out)
Banyak Brand besar menciptakan produk Limited Edition yang hanya dijual dalam jumlah tertentu atau periode tertentu.
Brand fashion Supreme mungkin adalah salah satu yang paling jago menggunakan teknik ini.
Dengan dukungan selebriti, influencer dan partnership dengan brand besar lainnya. Supreme bisa menjual produknya dalam jumlah hitungan hari.
Ini membuat demand yang besar sekali. Akibatnya harga barang-barang Supreme melambung tinggi. Bayangkan satu buah kaos dengan logo Supreme bisa dijual di atas USD$5,000!
Tips memanfaatkan Loss Aversion dalam Marketing adalah bagaimana menciptakan komunikasi sehingga timbul persepsi pelanggan bahwa mereka akan kehilangan sesuatu (kesempatan, trend, materi atau lainnya) jika melewatkan penawaran yang diberikan.
Lalu, Apa Bisa Menghindari Loss Aversion?
Jujur saja, Loss Aversion gak bisa dihilangkan dari keseharian kita.
Coba perhatikan nenek moyang kita yang harus berburu di hutan. Satu kesalahan kecil saja bisa menyebabkan kematian.
Dan turun-temurun, kita akan diingatkan untuk selalu berhati-hati agar selamat melewati berbagai tantangan zaman.
Ini sebabnya, tanpa sadar kita akan selalu lebih peka terhadap hal negatif dibandingkan hal positif.
Namun, penting bagi Anda untuk sadar bahwa timbangan resiko kita tidak pernah berimbang, kita akan selalu menaruh beban lebih untuk hal yang kita anggap buruk.
Setelah saya pikir-pikir, mungkin Loss Aversion inilah alasan para Jomblo merasa bahagia.
Mendapatkan saja belum, bagaimana bisa kehilangan ? #ehhh
Cindy Levina has spent her career helping brands create better customer relationships through social media, content marketing, and public relations. Her passion working with influencers and creating a meaningful digital campaign has made her a force to be reckoned with. You can follow her on Instagram @cindylevina or on LinkedIn